Thursday 27 September 2012

Tuhan, Aku (yang Rendah Hati) Malu!

Engkau tidak boleh malu di hadapan Tuhan 
seperti beberapa orang, yang yakin bahwa mereka adalah orang yang rendah hati.
Bagimu sikap seperti ini jangan dianggap sebagai kerendahan hati bila tuanmu mau berbuat baik kepadamu dan engkau menolak untuk menerimanya.
Tetapi, engkau menunjukkan sikap rendah hati bila engkau menerimanya dengan senang hati, meski menyadari engkau tak pantas untuk itu.

Kerendahan hati yang sejati adalah 
bila penguasa surga dan dunia mendatangi rumahku untuk membantu dan menolong aku serta bergembira bersamaku,
dan aku begitu rendah hati sehingga tidak menjawab pertanyaan mereka,
atau menemani tamu-tamuku,
atau menerima hadiah mereka,
tetapi meninggalkan mereka sendirian.

Sungguh merupakan kerendahan hati sejati apabila mereka mau berbicara padaku dan menyuruh aku meminta apa yang aku mau,
dan aku bersikap rendah hati
bahwa aku lebih suka tetap miskin
dan bahkan menyilakan mereka pergi, sehingga mereka melihat aku belum mempunyai keputusan yang tepat.

Sikap rendah hati bukanlah seperti itu.
Berbicaralah dengan Tuhan
sebagai seorang Bapak, sebagai Ibu, sebagai Saudara, sebagai Saudari, sebagai Tuan,
sebagai seorang Kekasih.
Suatu saat dengan cara ini, saat lainnya dengan cara itu,
Tuhan akan mengajarimu apa yang harus engkau lakukan agar menyenangkan.

Jangan bodoh!
Mintalah izin untuk berbicara dengan kekasih jiwamu.
Ingatlah bahwa penting bagimu untuk memahami kebenaran ini - Tuhan ada dalam diri kita dan kita hendaknya menyadari kehadiran-Nya.


SUMBER: Renungan Pagi Hari Ketujuh Teresia dari Avila

Terbang Tanpa Sayap

Semangat yang lebih besar, dituntut dari orang-orang yang memulai perjalanan menuju kesempurnaan, daripada orang-orang yang tiba-tiba menjadi martir, karena kesempurnaan tidak dapat diperoleh hanya dalam waktu semalam.
Engkau masih harus memerangi perasaan-perasaanmu.
Karena kenyataannya engkau masih berusaha mencintai Tuhan,
maka engkau berharap agar menjadi sangat berani, seperti para orang kudus terkenal.

Engkau menyadari sedang berdoa kepada Tuhan,
tapi saat yang sama jiwamu merasakan kesedihan yang demikian mendalam.

Banyak orang yang berbalik arah pada titik ini
karena mereka tidak tahu bagaimana harus membantu diri mereka sendiri.

Banyak orang ingin terbang sebelum Tuhan memberikan mereka sayap.
Mereka mengawali dengan kemauan baik dengan semangat serta tekad yang kuat supaya maju dalam kebajikan.

Ada orang-orang yang mengorbankan segalanya demi Tuhan.
Lalu mereka memperhatikan orang-orang yang sudah jauh berjalan memiliki kebajikan-kebajikan yang luar biasa dan menjadi inspirasi bagi mereka.
Mereka membaca buku-buku doa dan kontemplasi, tentang semua yang harus mereka lakukan, demi mencapai tujuan spiritualnya, kemudian hatinya menjadi tawar.

Jangan terganggu, berharaplah pada Tuhan.
Sebab bila engkau mau melakukan kehendak Tuhan, dan engkau berdoa, dan berharap pada Tuhan, melakukan apa yang bisa engkau kerjakan sendiri, Tuhan akan memberikan segala yang engkau inginkan dalam hatimu.
Juga sangat penting adalah bahwa kodrat kita yang lemah harus mempunyai keyakinan yang cukup besar, dan jangan dibuat cemas.
Hendaknya kita yakin bahwa bila kita melakukan yang terbaik kita akan menjadi pemenang.


SUMBER: Renungan Pagi Hari Kelima Teresia dari Avila

Berkat Allah?

Minggu lalu tepatnya tanggal 16 September 2012, aku dan keluargaku mengikuti misa sore hari di gereja kami. Aku sudah berniat akan gereja sore hari karena gereja kami mendapat giliran melaksanakan Misa Novena Ekaristi. Sore itu Pastor Yustinus Ardianto yang memimpin. Sudah kurang lebih dua atau tiga bulan ini beliau menjadi pastor pendamping di gereja kami, membantu Pastor Martinus. Pastor Yustinus menjadi salah satu pastor favoritku saat ini karena beliau yang terhitung masih muda, selalu membawakan kotbah dengan penuh semangat dan mudah dipahami, baik dari segi bahasa dan pemaknaan cerita. Seperti kotbahnya sore itu. Betapa dalam pemaknaannya bagi kehidupan yang kujalani sekarang ini. Kehidupan yang menurut sekian banyak orang, semu, kabur, dan tidak terarah.
Sore itu Pastor Yustinus memberikan pertanyaan yang menggelitik. Beliau membandingkan manusia mana yang lebih banyak menerima berkat Allah. Apakah manusia yang mempunyai usaha yang sukses atau manusia yang masih berusaha mencapai kesuksesan? Kebanyakan dari kita, pasti akan langsung memperhatikan manusia yang mempunyai usaha yang sukses, menyalaminya, dan mengatakan bahwa berkat Tuhan sungguh luar biasa atas dirinya. Sungguh luar biasa. Benarkah demikian? Benarkah berkat Allah lebih berlimpah atas manusia yang mempunyai usaha yang sukses dibanding manusia yang masih berusaha mencapai kesuksesannya? Adakah itu benar pemikiran Allah? Jadi, sukses berarti dapat berkat?
Bacaan Injil sore itu mengisahkan tentang Tuhan Yesus yang sedang berkumpul dengan murid-muridNya. Tuhan menanyakan kepada murid-muridNya, siapakah Dia? Petrus menjawab, Tuhan Yesus adalah Mesias. Tuhan Yesus membenarkan Petrus, kemudian mengatakan bahwa sesungguhnya setelah ini Ia akan menderita dan mati di kayu salib. Petrus, salah seorang muridNya, menghardik Tuhan Yesus, dengan berkata bahwa tidak sepantasnya Tuhan yang adalah Mesias mengatakan hal seperti itu di depan para pengikutNya. Namun apa yang Tuhan lakukan? Ia malah mengusir Petrus (setan dalam Petrus), dengan mengatakan bahwa jangan menyerukan apa yang dipikirkan manusia karena kehendak dan pikiran Allah bukanlah kehendak dan pikiran manusia.
Dari pertanyaan dan bacaan Injil tersebut, Pastor Yustinus memberikan pemahaman yang mendalam bahwa ternyata yang selama ini kita lihat sebagai berkat Allah dalam diri sesama kita adalah mereka yang mencapai kesuksesan jabatan, finansial, atau kedudukan sosial. Padahal belum tentu itu adalah berkat Allah. Mungkin saja itu adalah pemahaman dari pemikiran manusia. Karena sesungguhnya manusia tidak pernah mengetahui pikiran dan kehendak Allah. Manusia hanya menjalankan apa yang dipikirkan dan dikehendaki Allah.
Jadi marilah ubah, cara pandang kita melihat berkat yang berasal dari iman kepada Allah. Janganlah kesuksesan jabatan, finansial, atau kedudukan sosial menjadi patokan iman kita melihat bagaimana Allah memberikan berkatNya. Terapkanlah iman yang rendah hati melihat ke bawah. Melihat banyaknya hal yang kelihatannya kecil menurut manusia namun besar menurut Allah. Yang kelihatannya sempit menurut manusia, namun luas menurut Allah. Yang kelihatannya sukar menurut manusia, namun mudah menurut Allah.  Yang terkadang tampak sebagai penyakit, rintangan, atau kegagalan.  Karena saat kita mensyukuri, menghadapi, dan menjalani semuanya itu, maka disitulah berkat Allah sesungguhnya berada.