Thursday 27 September 2012

Berkat Allah?

Minggu lalu tepatnya tanggal 16 September 2012, aku dan keluargaku mengikuti misa sore hari di gereja kami. Aku sudah berniat akan gereja sore hari karena gereja kami mendapat giliran melaksanakan Misa Novena Ekaristi. Sore itu Pastor Yustinus Ardianto yang memimpin. Sudah kurang lebih dua atau tiga bulan ini beliau menjadi pastor pendamping di gereja kami, membantu Pastor Martinus. Pastor Yustinus menjadi salah satu pastor favoritku saat ini karena beliau yang terhitung masih muda, selalu membawakan kotbah dengan penuh semangat dan mudah dipahami, baik dari segi bahasa dan pemaknaan cerita. Seperti kotbahnya sore itu. Betapa dalam pemaknaannya bagi kehidupan yang kujalani sekarang ini. Kehidupan yang menurut sekian banyak orang, semu, kabur, dan tidak terarah.
Sore itu Pastor Yustinus memberikan pertanyaan yang menggelitik. Beliau membandingkan manusia mana yang lebih banyak menerima berkat Allah. Apakah manusia yang mempunyai usaha yang sukses atau manusia yang masih berusaha mencapai kesuksesan? Kebanyakan dari kita, pasti akan langsung memperhatikan manusia yang mempunyai usaha yang sukses, menyalaminya, dan mengatakan bahwa berkat Tuhan sungguh luar biasa atas dirinya. Sungguh luar biasa. Benarkah demikian? Benarkah berkat Allah lebih berlimpah atas manusia yang mempunyai usaha yang sukses dibanding manusia yang masih berusaha mencapai kesuksesannya? Adakah itu benar pemikiran Allah? Jadi, sukses berarti dapat berkat?
Bacaan Injil sore itu mengisahkan tentang Tuhan Yesus yang sedang berkumpul dengan murid-muridNya. Tuhan menanyakan kepada murid-muridNya, siapakah Dia? Petrus menjawab, Tuhan Yesus adalah Mesias. Tuhan Yesus membenarkan Petrus, kemudian mengatakan bahwa sesungguhnya setelah ini Ia akan menderita dan mati di kayu salib. Petrus, salah seorang muridNya, menghardik Tuhan Yesus, dengan berkata bahwa tidak sepantasnya Tuhan yang adalah Mesias mengatakan hal seperti itu di depan para pengikutNya. Namun apa yang Tuhan lakukan? Ia malah mengusir Petrus (setan dalam Petrus), dengan mengatakan bahwa jangan menyerukan apa yang dipikirkan manusia karena kehendak dan pikiran Allah bukanlah kehendak dan pikiran manusia.
Dari pertanyaan dan bacaan Injil tersebut, Pastor Yustinus memberikan pemahaman yang mendalam bahwa ternyata yang selama ini kita lihat sebagai berkat Allah dalam diri sesama kita adalah mereka yang mencapai kesuksesan jabatan, finansial, atau kedudukan sosial. Padahal belum tentu itu adalah berkat Allah. Mungkin saja itu adalah pemahaman dari pemikiran manusia. Karena sesungguhnya manusia tidak pernah mengetahui pikiran dan kehendak Allah. Manusia hanya menjalankan apa yang dipikirkan dan dikehendaki Allah.
Jadi marilah ubah, cara pandang kita melihat berkat yang berasal dari iman kepada Allah. Janganlah kesuksesan jabatan, finansial, atau kedudukan sosial menjadi patokan iman kita melihat bagaimana Allah memberikan berkatNya. Terapkanlah iman yang rendah hati melihat ke bawah. Melihat banyaknya hal yang kelihatannya kecil menurut manusia namun besar menurut Allah. Yang kelihatannya sempit menurut manusia, namun luas menurut Allah. Yang kelihatannya sukar menurut manusia, namun mudah menurut Allah.  Yang terkadang tampak sebagai penyakit, rintangan, atau kegagalan.  Karena saat kita mensyukuri, menghadapi, dan menjalani semuanya itu, maka disitulah berkat Allah sesungguhnya berada.

No comments:

Post a Comment