Thursday 21 June 2012

Ikhlas dan Pasrah : Berbedakah?

Aku terbangun tepat jam enam pagi ini. Aku masih ingat hari ini seharusnya aku berangkat ke Jakarta menghadiri wawancara yang berasal dari AIA. Tapi niatku untuk segera bersiap-siap tidak ada sama sekali setelah aku bangun tadi. Seperti harapanku di tulisan sebelumnya, jika memang Tuhan tidak menghendaki, aku meminta kepadaNya untuk mengurangi keinginanku itu menghadiri wawancara tersebut. Dan melihat waktu bangunku tadi juga keinginanku yang menghilang, sepertinya aku memang tidak usah datang kesana. Keputusanku berubah bukan karena Mamaku dan segala kritikan pedasnya, tapi memang karena aku sendiri telah memutuskan untuk mengubah keinginanku menghadiri wawancara itu. Pada akhirnya, pagi ini aku pergi ke pasar bersama Ibuku. Kembali Ibuku mengajarkan cara berbelanja dan memilih bahan. Aku memperhatikan dengan seksama dan berusaha menyimpan semuanya itu dalam memoriku. Apakah masih pengaruh datang bulan atau memang aku tidak menyukai Ibuku, aku masih saja marah-marah dan kesal menghadapi Ibuku. Padahal sebenarnya jauh di dalam hatiku aku menyadari perbuatanku itu tidak pantas.
Ibuku berkenan datang saja seharusnya aku sudah sangat bersyukur. Tapi sikapnya yang tidak mau mendengar hanya mau didengar membuatku muak setengah mati dalam kamar kecil ini. Ampuni aku God. Hari ini karena seharian penuh aku harus bersama Ibuku aku jadi mengalami buntu pikiran. Bagaimana tidak setiap aku ingin menenangkan diri, setiap itu juga Ibuku akan mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang kebanyakan konyol jawabannya. Alias sudah ada jawabannya di depan mata. Mungkin karena aku terlalu buntu, aku akhirnya memutuskan keluar untuk membeli kebutuhan dikosan yang telah habis. Aku pamit dengan Ibuku dan sesaat sebelum pergi aku sempat mengatakan hal yang ketus pada Ibuku. Hari itu menurut berita dari Bapakku. Ada pesawat yang jatuh di daerah Halim, di sebuah komplek perumahan. Bapakku menanyakan apakah kejadian itu sampai ke daerah rumah kami yang kebetulan berdekatan dengan daerah itu. Sebelum kubalas, aku bertanya terlebih dahulu kepada Abang dan Adik yang ada disana. Dan puji Tuhan tidak kejadiannya tidak sampai ke mereka. Tapi saat Ibuku baru membaca berita itu lewat SMS yang dikirimkan Bapakku, dia sempat panik dan menyangka aku ketakutan. Padahal tidak ada rasa takut itu. Jadi kubilang saja dengan nada tidak senang bahwa Ibuku yang ketakutan.
Sikap tidak sopan adalah awal sebuah bencana hari ini. Sore ini disaat aku memutuskan pergi aku membawa dompet berisi uang tabunganku. Untuk apa? Aku pun tidak tahu, hanya untuk jaga-jaga saja menurutku. Aku menaruhnya di laci depan motor Beat. Motor yang kupakai saat kumengalami kecelakaan di Bandung. Ya, karena aku sudah merasa tidak enak lagi menitip motor itu terlalu lama di tempat Giegie, akupun memutuskan untuk membawa motor itu kembali ke Jatinangor. Lalu kupakailah motor itu ke supermarket terdekat. Aku pun berbelanja dan berbelanja. Menjelang maghrib akupun pulang. Perjalananku lancar seperti biasa. Sampai akhirnya aku tersadar bahwa dompet yang kembali kuletakkan di laci motor itu telah hilang! Aku pun mulai panik. Tapi sembari berusaha mencari kembali aku pun hanya meletakkan belanjaanku disitu dan kembali menyusuri jalan yang kutempuh tadi. Aku pun bertanya pada tukang parkir disitu. Tapi mereka tidak melihat dompet motif anyam berwarna hitam yang cukup besar memuat uang tanpa dilipat. Aku pun mulai berkaca-kaca. Memang aku pernah mengalami kehilangan yang lebih banyak dari ini. Tapi untuk informasi, uang itu uang terakhir yang aku pegang untuk melanjutkan hidupku dikosan.
Sampai kembali kekosan dengan tangan hampa. Aku menuju kamar dengan belanjaan ditanganku dan setelah itu aku bercerita dengan cepat ke Mamaku. Beliau pun menanyakan dimana hilangnya? Kalau aku tahu dimana hilangnya, itu bukan hilang namanya, tapi lupa. Aku pun hendak menyusuri lagi jalan yang kulalui. Tiba-tiba Ibuku ingin ikut. Jadilah kami berdua mencarinya. Aku kembali ke supermarket tadi dan disana kembali lagi Ibuku menanyakan hal konyol tentang dimana jatuhnya dompetku. Aku benar-benar kesal dan merasa konyol dengan membawa dia. Lalu aku memang marah, kesal dalam menjawabnya. Sampai akhirnya, aku pun menanyakan kembali pada tukang parkir dan kemudian satpam disitu sampai nomor telepon genggamku dicatat. Lalu kembali kususuri jalan bersama Ibuku. Sempat beberapa kali berhenti untuk benar-benar memastikan apa yang kulihat. Dan kembali berputar menyusuri jalan yang sama. Meskipun Ibuku mulai protes, aku hanya mau mencari, melihat sekali lagi untuk yang ketiga kalinya. Hasilnya nihil. Sesampainya dikosan aku pun tidak dapat menahan air mata ini lagi. Memang sudah keluar juga beberapa sepanjang jalan tadi tapi ini benar-benar keluar semuanya.
Ibuku berusaha menenangkanku, tapi itu sama sekali tidak membuatku tenang karena dia hanya memerintah untuk jangan menangis. Aku selalu heran dengan pemikirannya yang seperti ini. Di pikirannya menangis seperti hal tabu karena itu menunjukkan kelemahan yang sangat. Jadi aku malah menolak segala kelakuan halus yang diusahakan olehnya. Aku memang menganggap Ibuku tidak stabil, terlalu banyak kekhawatiran yang sama sekali tidak kumengerti. Sampai aku selesai menangis pun aku tetap ketus menanggapi Ibuku. Berdosa itu. Pasti dan aku bersedia menanggungnya. Aku hanya sedih karena keeogisanku dan kurangnya pengendalian diriku, aku jadi tidak hati-hati dengan segala roh jahat yang ada disekitarku. Aku sempat mengandaikan jika saja aku jadi ke Jakarta, aku tidak akan mengalami kejadian buruk ini. Tapi aku merasa konyol dengan berpikir seperti itu karena itu semua diluar kemampuanku. Pada akhirnya aku hanya harus ikhlas. Tapi benarkah aku ikhlas dengan semua kejadian ini? Bukankah aku hanya pasrah?
Dua hal ini sangatlah berbeda. Meskipun tidak dapat kuterangkan sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia, aku hanya dapat menjelaskannya dengan pemahamanku. Di saat ikhlas ada, di saat itu juga pasrah ada. Ikhlas menunjukkan penyerahan diri sepenuhnya, dimana kusebut ini pasrah, dan setelah itu tetap melangkah dengan pembaharuan rencana yang lebih baik tanpa menyalahkan siapapun termasuk diri sendiri. Sedangkan pasrah, seperti yang kutulis di atas, hanya berupa penyerahan diri sepenuhnya tanpa ada perlawanan untuk bangkit karena rasa bersalah yang berlebihan. Apakah itu yang terjadi padaku? Aku merasa bersalah karena terlalu ketus, tidak sopan pada Ibuku. Aku bersalah karena tidak mengambil langkah bijak menanggapi waktu. Ya, aku pasrah dan sekarang aku bersiap menghadapi hari yang lebih berat dari ini semua. Aku harus mempercayai diriku untuk dapat melakukan segalannya karena aku milik Dia yang tidak terbatas. Jadi, saat ini aku benar-benar ikhlas dan berharap semoga uang itu berada pada orang yang benar-benar membutuhkannya. Itu hanya materi yang dapat diberikan lagi olehNya. Itu hanya bukan untukku saat ini. Thank God, I love you.

No comments:

Post a Comment